Rabu, 27 Mei 2009

dunia kerja vs dunia kampus


“Kerja praktek memang selalu mendebarkan”. Demikian salah satu koment yang masuk dalam tulisan saya tentang ‘pilihan kerja praktek’. Koment itu berasal dari salah seorang mahasiswi teknik kimia UnRi yang tentu saja sudah lebih dulu merasakan bagaimana suka duka menjalani kerja Praktek.
Benarlah apa yang dia tuliskan. Dunia kerja memang sangat berbeda dengan dunia kampus. Jika didunia kampus sering kali banyak yang mengeluhkan tentang perlakuan senioritas dalam OSPEK, ataupun asisten dengan praktikan, maka itu belumlah seberapa dengan yang di hadapi dalam dunia kerja. Terutama dalam dunia kerja yang bersifat birokratif, seperti di pemerintahan. Apa yang diperintah oleh atasan, harus dilakukan dan dilaksanakan. Mulai dari hal-hal terkecil sampai yang besar. Wajarlah kiranya pemilihan kepala daerah atau PILKADA menjadi rebutan orang-orang yang berkepentingan dalam urusan birokrasi seperti ini. senioritas didunia kerja ternyata jauh lebih mengerikan.
Berani melawan, tentu saja ancaman akan dicopot dari jabatan, pemindahan posisi, dan sebagainya diambang mata. Tidak heran jika banyak yang mengatakan, banyak aktivis mahasiswa yang dulunya idealis dan kritis, tetapi setelah memasuki dunia kerja tidak lagi sekritis dulu. Memang akan lebih enak jika memilih pekerjaan yang memberikan keleluasaan dalam berkreasi sehingga tidak merasa tertekan atau lebih merdeka. Tapi, lagi-lagi mencari pekerjaan bukanlah hal yang mudah. Tidak sedikit sarjana-sarjana, bahkan dari Perguruan tinggi yang terkenal sekalipun yang masih menunggu dalam antrian daftar pencari kerja. Sehingga, terlalu perfeksionis dalam memilih pekerjaan bisa jadi malah menyulitkan.
Ketika menjabat sebagai mahasiswa, Ikut berkecimpung dalam dunia kerja sebenarnya juga mengasyikkan. Selain pengalaman, dan terutama pembelajaran secara langsung, wawasan kita juga akan bertambah. Tapi, bagaimanapun juga dunia mahasiswa ternyata jauh lebih mengasyikkan. Saya sendiri Ingin segera waktu kerja praktek ini berakhir sehingga bisa kembali ke kampus, menjadi mahasiswa betulan. Keinginan untuk lulus cepat pastilah ada. terlebih orang tua juga menuntut demikian. Tapi keinginan untuk mendapatkan fasilitas dan berstatus mahasiswa rupanya juga belum terpuaskan. Kata seorang teman, susah-susah masuk UGm, kenapa harus keluar cepat-cepat.
Apalagi melihat dunia kerja yang ternyata tidak seindah yang dibayangkan, rasa-rasanya ingin mengundur atau sedikit memperpanjang (baca : memuaskan) masa kuliah (kayaknya kalau Cuma 4 tahun koq terlau cepat ya…tapi kalau lebih dari 5 tahun juga terlalu lama. Semoga bisa ditengah-tengahnya. Doakan ya… ). Dimana sebagai mahasiswa bisa seenaknya mengkritik sana sini dan mendapatkan pemakluman jika tidak mampu menghasilkan arahan yang solutif. Bisa internetan gratis, beli majalah lebih murah, pinjem buku di perpustakaan, dan lain-lain. disamping fasilitas diatas, ada lagi yang lebih seru. Yaitu, bertemu dan bergaul dengan orang-orang pintar dan menimba ilmu dari beliau-beliau.
Dunia kampus, pastilah bukan berisi orang sembarangan. Apalagi kampus besar dan tertua di Indonesia, seperti UGM. Banyak orang-orang hebat baik dari kalangan dosen, alumni ataupun mahasiswa yang rasanya sangat sayang jika tidak menimba ilmu dari mereka. Setidaknya kecipratan dan ketularan. untuk bertanya tentang berbagai hal, tidak susah untuk mengakses karena banyak pakar yang bisa dijadikan rujukan. Berbeda dengan dunia kerja. Apalagi jika tempat kita bekerja bukanlah didaerah perkotaan dimana segala sesuatu sulit diakses. Tidak menutup kemungkinan, pekerjaan menuntut kita untuk tinggal didaerah terpencil, terasing dari peradaban dan minim fasilitas. Atau bisa jadi tempat kerjanya sudah nyaman, fasilitas terpenuhi, namun seluruh waktu habis untuk urusan kerja. Datang pagi, pulang malam, terkadang lembur, bahkan ada PR. Tentu saja, didunia kerja tak ada alasan untuk bolos-membolos atau kabur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar